Senin, 21 Februari 2011

RESTORASI DALAM PERSPEKTIF GENERASI BARU INDONESIA

Oleh Jeffrie Geovanie

Yang saya hormati,
Ketua Umum Nasional Demokrat, Bapak Surya Paloh,
Ketua Dewan Pertimbangan Nasional Demokrat Bapak Sultan Hamengkubuwono X, Ketua Dewan Pakar, Bapak Siswono Yudho Husodo,

seluruh pimpinan Nasional Demokrat yang hadir, seluruh ketua-ketua Nasional Demokrat dari Propinsi dan Kabupaten Kota serta seluruh hadirin...
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Pertama-tama selaku Ketua Wilayah Nasional Demokrat Jakarta Raya, saya ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ketua Umum Nasional Demokrat, Bapak Surya Paloh.

Kepemimpinan Bapak Surya Paloh hampir genap satu tahun dari sejak di deklarasikan pada 1 februari 2010 yang lalu, sungguh memberikan pembelajaran yang luar biasa bagi kami, terutama kami-kami dari generasi baru Indonesia, untuk memahami arti penting tentang konsistensi, tentang ketulusan, tentang kejujuran, dan yang tidak kalah penting adalah tentang etos kerja.

Pak Surya juga telah mempertontonkan pada kami, saat kunjungan-kunjungannya ke setiap daerah, bagaimana bersikap rendah hati, hangat pada setiap orang yang ditemui dan kami sangat yakini, itu bisa terjadi begitu alamiah, karena memang Pak Surya melakukannya dengan sepenuh hatinya, seluruh jiwanya.
Di saat kami-kami dari generasi baru Indonesia, mulai muak dan jengkel, melihat kepemimpinan di Indonesia yang belakangan ini di dominasi oleh ketidakjujuran, kebohongan, kemunafikan, kepura-puraan, bahkan juga ketidakpedulian pada tanggungjawabnya, sikap-sikap yang Pak Surya pertontonkan pada kami, sungguh bagaikan air segar yang membasahi dahaga kami untuk yakin dan percaya bahwa masih ada harapan pada masa depan Indonesia yang mensejahterakan seluruh rakyatnya.

Begitu juga dengan Pak Syamsul Muarif, Pak Sultan Hamengkubuwono, Pak Jan Darmadi, Pak Bachtiar Ali, Pak Soleh Solahudin, Pak Jafar Assegaf, ibu Jeannette Sudjunadi, Om Par, Pak Siswono, kakak Ferry Mursyidan Baldan, kakak Victor B Laiskodat, kakak Enggartiasto Lukita dan semua pengurus, sungguh sesuatu yang sangat indah dan berharga kebersamaan kita selama hampir genap satu tahun ini.

Saudara-saudaraku semua, pada kesempatan ini, izinkan saya juga untuk menyampaikan harapan kepada Pak Surya dan seluruh tokoh-tokoh senior di Nasional Demokrat agar tidak lelah dan tetap selalu bersemangat untuk membimbing kami menjadi pemimpin yang hebat, karena menjadikan Indonesia yang mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya, haruslah oleh pemimpin yang hebat, bukan seperti pemimpin-pemimpin yang berkuasa saat ini yang hanya seolah-olah pemimpin hebat, seolah-olah pemimpin yang bekerja keras, seolah-olah juga pemimpin yang peduli.

Saudara-saudaraku semua, pada kesempatan ini, saya juga melaporkan, walaupun baru di deklarasikan 12 desember 2010 yang lalu, Nasional Demokrat Jakarta Raya, telah menyelesaikan seluruh kepengurusan sampai tingkat kecamatan, yang Insya Allah pelantikkannya akan dilakukan seusai Rapimnas ini.
Untuk keanggotaan, selama 50 hari ini kami sudah memiliki 15.000 anggota, rasanya bukan hal yang sulit bagi kami untuk menggenapkannya menjadi 1 juta anggota sampai 1 februari 2012. Insya Allah.

Saudara-saudaraku semua, pada hari ini mewakili seluruh pengurus Nasional Demokrat Jakarta Raya, saya juga ingin menyampaikan, butir-butir pemikiran kami, seluruh pengurus Nasional Demokrat Jakarta Raya tentang perspektif generasi baru Indonesia terhadap, restorasi Indonesia yang kita cita-citakan bersama.

Gerakan reformasi di negeri ini sudah memasuki tahun yang ke-13. Dari Mei 1998 hingga saat ini kita telah melewati tiga kali Pemilu. Idealnya, setelah gerakan reformasi akan terjadi proses pelembagaan politik demokratis yang ditandai dengan:

(1)    Terciptanya kondisi bagi berkembangnya masyarakat sipil yang bebas dan aktif;
(2)    Adanya lembaga-lembaga politik yang relatif otonom;
(3)    Adanya aturan hukum yang dijalankan (law enforcement) untuk melindungi kebebasan individu dan kehidupan bermasyarakat;
(4)    Adanya sistem birokrasi yang fungsional dan tidak koruptif;
(5)    Adanya sistem ekonomi yang relatif stabil dan mensejahterakan rakyat.

Sayangnya, dari Pemilu pertama pasca gerakan reformasi (Juni 1999), hingga Pemilu ketiga (April 2009) yang diharapkan melahirkan kepemimpinan nasional baru untuk memperbaiki tatanan sosial politik yang kondusif bagi proses konsolidasi demokrasi ternyata masih jauh panggang dari api. Pemilu hanya sekadar menjadi legitimasi formal bagi tampilnya rezim baru tanpa dibarengi dengan penataan infra struktur politik yang memadai untuk menjalankan proses demokratisasi.

Kita bisa memahami karena persiapan yang terlalu pendek - dari mundurnya Presiden Soeharto hingga Pemilu - bukanlah waktu yang memadai bagi kekuatan prodemokrasi untuk menkonsolidasikan diri. Maka wajar jika kemenangan sebagian komponen prodemokrasi dalam Pemilu pun belum terhindar dari konflik politik, terutama dalam lembaga pemerintahan.

Relasi yang berjalan antara eksekutif dan legislatif misalnya, bukan dalam suasana check and balances yang dibenarkan secara demokratis, melainkan cenderung diwarnai semangat saling menjatuhkan satu sama lain yang pada akhirnya akan merusak tatanan demokrasi.

Kegagalan proses pelembagaan politik yang demokratis dari Pemilu ke Pemilu itulah yang kemudian melahirkan rangkaian ketidakpastian politik atau yang dalam literatur sering disebut dengan proses transisi yang tak berkesudahan. Ini merupakan bencana politik yang destruktif bukan saja bagi kelangsungan demokratisasi tapi juga bagi kelangsungan hidup suatu negara.

Oleh karenanya bisa dimaklumi jika ada sebagian kalangan yang menyebut Indonesia sebagai negara gagal (failed state). Jika merujuk pada kelima komponen yang menjadi prasyarat bagi pelembagaan politik yang demokratis (sebagaimana sudah disebutkan di awal) belum ada satu pun yang sudah benar-benar terpenuhi.
Pertama, dari segi terciptanya masyarakat sipil yang bebas dan aktif masih belum terpenuhi karena di negeri ini masih banyak komponen masyarakat sipil yang hidupnya terus terancam seperti yang terjadi pada para penganut ajaran Ahmadiyah, dan kelompok-kelompok minoritas lain yang belum bisa secara bebas mengekspresikan hak-hak dasarnya seperti kebebasan beragama dan menjalankan syariatnya, berserikat, dan mengemukakan pendapat.

Kedua, lembaga-lembaga seperti partai politik dan interest group yang ada di tengah-tengah masyarakat belum sepenuhnya independen. Ada upaya-upaya sistematis yang dilakukan pemerintah untuk mengkooptasi lembaga-lembaga politik yang tujuannya untuk memperkuat posisi politik jangka pendek. Akibatnya pada saat pemerintah melakukan kesalahan seperti korupsi atau skandal, lembaga-lembaga politik yang seyogianya melakukan kontrol justru menjadi pilar yang membela pemerintah.

Ketiga, law enforcement yang menjadi penyangga utama dari bangunan negara hukum (rechstaat) masih karut marut. Pedang keadilan hanya tajam bagi rakyat dan lawan politik, tapi tumpul bagi penguasa dan kroni-kroninya. Kasus pencurian buah kakao begitu mudah pelakunya diadili tapi skandal Bank Century yang merugikan negara hingga 6,7 triliun pelaku-pelaku utamanya begitu sulit dijerat secara hukum.
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara, bila pelakunya dari lawan politik begitu mudah dijebloskan dalam penjara, tapi berusaha ditutup-tutupi dengan dihilangkan barang buktinya jika pelakunya dari partai yang berkuasa. Terbongkarnya kasus mafia hukum dan mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan membuat law enforcement menjadi kian jauh dari fungsinya.

Keempat, birokrasi yang menjadi penopang utama jalannya pembangunan dan pelayanan publik masih sangat koruptif. Jangankan orang jahat, bahkan orang baik-baik pun bisa menjadi koruptor karena jeratan birokrasi di negeri ini. Sistem perizinan, pelayanan publik, serta sistem perekrutan pejabat dan pegawai baru untuk instansi-instansi pemerintah masih sarat dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan korupsi yang bertali-temali.

Kelima, sistem ekonomi yang dianut negara ini pun sangat tidak jelas apakah menganut sistem ekonomi liberal yang bertumpu pada kekuatan pasar atau sebaliknya. Yang ada adalah sistem ekonomi suka-suka atau semau-maunya, terserah pada pemerintah maunya apa. Sistem perekonomian nasional yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 hanya terkonsep dengan rapi namun minim aktualisasi.

Kondisi kebangsaan kita yang telah sampai pada tahap negara gagal (failed state) ini secara generasional telah melahirkan kegalauan luar biasa di kalangan generasi baru bangsa ini. Generasi muda yang seharusnya mewarisi nilai-nilai luhur dari para pendahulunya, yang ada di depan mata kini hanyalah rangkaian ketidakpastian, disorientasi demokrasi dengan sistem hukum, politik, dan ekonomi yang kacau-balau.

Melihat kondisi karut marut seperti ini, maka salah satu pilihan yang bisa kita lakukan adalah melakukan restorasi yang secara harfiah berasal dari kata to restore yang menurut Webster’s Third New International Dictionary berarti to bring back or to put back into the former or original state, atau to bring back from a state of changed condition. Artinya kurang lebih mengembalikan pada keadaan aslinya, atau mengembalikan dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

Republik ini telah dirancang oleh para founding fathers yang tergabung dalam Badan Peyelidik Usaha-usaha Pesiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan nilai-nilai dasar yang dirumuskan secara cermat dalam teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia maupun dalam Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pembukaannya. Nilai-nilai dasar itulah yang seharusnya menjadi rujukan dalam membangun negara serta dalam menyusun peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini.

Tapi dalam perjalanan sejarahnya, nilai-nilai dasar itu telah mengalami penyimpangan-penyimpangan, terutama disebabkan karena adanya deviasi antara prilaku para pejabat negara dengan nilai-nilai dasar yang terdapat dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Pada saat ini, deviasi prilaku itu kian menjadi-jadi sehingga mendorong para tokoh agama menyampaikan kritik tajam dengan memunculkan istilah ”kebohongan publik” yang dilakukan oleh pemerintah.

Untuk meniadakan, atau setidaknya untuk meminimalisasi penyimpangan-penyimpangan itulah diperlukan gerakan perubahan yang berupa ”Restorasi Indonesia” dalam perspektif generasi baru. Restorasi yang dimaksud bukan berarti secara harfiah kita kembali pada keadaan asli negeri ini atau kembali pada UUD 1945 yang asli. Tapi restorasi yang kita maksud adalah memedomani kembali nilai-nilai dasar yang telah dibangun oleh para founding fathers itu untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan tetap memperhatikan konteks kekinian sesuai dengan semangat zaman.

Untuk itu Nasional Demokrat Jakarta Raya, mengusulkan agar Rapimnas 1 ini merekomendasikan 5 langkah-langkah yg diperlukan.
Langkah-langkah yang diperlukan bisa mengacu pada lima kebutuhan dasar pelembagaan politik yang demokratis:

(1)      Memperkuat tatanan masyarakat sipil;
(2)      Penataan lembaga-lembaga politik yang demokratis;
(3)      Mengupayakan tegaknya law enforcement;
(4)      Penataan dan profesionalisasi birokrasi; dan
(5)      Implementasi sistem ekonomi yang adil dan mensejahterakan.

Dengan kelima langkah inilah, besar harapan kita bahwa kapal besar Indonesia yang hampir karam ini masih bisa diselamatkan.

Saudara-saudaraku semua, sebagai penutup, saya kutipkan beberapa bait puisi, Khalil Gibran yg terinspirasi dari kisah Nabi Musa AS, “Pernahkah kamu dalam hidupmu berada di tepi laut merah, di saat menoleh kebelakang, Firaun dan tentaranya siap membunuhmu dan umatmu, maju melangkah ke depan, lautan luas akan menenggelamkanmu dan umatmu, Ketika itu Musa berpikir sepersekian detik dan bertindak, Musa maju melangkah dengan tongkat mukjizat, terbelahlah lautan, selamatlah Musa dan umatnya”.

Saudara-saudaraku semua, hari ini kita pun setelah menjalani satu tahun ini, harus tetap maju melangkah, bila Musa memiliki tongkat mukjizat, kita pun memiliki mukjizat yaitu, kesungguhan hati kita, kecerdasan kita, keberanian kita untuk memperjuangkan negara Indonesia yang mensejahterakan seluruh rakyatnya.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

*)      Pidato Ketua Wilayah Nasional Demokrat Jakarta Raya, Jeffrie Geovanie, pada Rapimnas I Nasional Demokrat

*) sumber : http://www.nasionaldemokrat.org/articles/viewColumnWithTitle/perspektif/restorasi-dalam-perspektif-generasi-baru-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar