Senin, 21 Februari 2011

MENGENAL LEBIH DEKAT “ SURYA DHARMA PALOH ”

( Bagian - 3 )
Tokoh Pers

Kini, Surya Paloh sudah hampir memasuki akhir dekade kedua sebagai publisher. Predikat publisher mulai dia torehkan saat pertama kali menerbitkan Harian Prioritas pada 2 Mei 1986, bermarkas di Jalan Gondangdia, Jakarta Pusat. Koran ini menjadi legenda bagi banyak orang, apalagi bagi pribadi seorang Surya. Bukan hanya karena koran ini harus mati pada usia 13 bulan, melainkan lebih karena kematian itu hanya tiba akibat arogansi kekuasaan yang mendompleng pada Permenpen Nomor 1/Per/Menpen/1984 khususnya Pasal 33 butir “h”. Prioritas harus dibredel tepatnya pada tanggal 29 Juni 1987.

Pengambil keputusan ketika itu lupa, bahwa di usia yang sudah 36 tahun, sesungguhnya Surya Paloh sudah semakin matang sebagai politisi dan pengusaha.
Makanya Surya pasti tidak akan menyerah, malah akan memberikan perjuangan balik berlipat kali ganda. Padahal ketika itu, Surya sudah berada dalam lingkaran pusat kekuasaan lewat pertemanannya dengan putra-putri dan menantu Pak Harto, pemimpin besar ketika itu.

Karena itu momentum pembredelan justru menjadi titik tonggak perjuangan Surya Paloh untuk mewujudkan hakiki sebuah pers yang bebas merdeka. Sebab, menurutnya, mustahil kehidupan berbangsa bisa demokratis jika tidak ada kebebasan pers. Perjuangan strategis kebebasan pers dimaksudkannya pula sebagai perjuangan untuk menegakkan demokrasi di sebuah bangsa besar bernama Indonesia.

Ketika itu, sayang dia harus melangkah sendirian. Lebih parah lagi, baginya, pintu untuk memperoleh surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) pun mustahil. Selembar surat untuk menerbitkan media baru sebagai alat untuk memperjuangkan kebebasan pers dan menegakkan demokrasi, sudah tertutup rapat baginya.

Kebesaran Surya sebagai anak rantau ibarat hanya menjadi seorang lone ranger yang berjalan sendirian dalam kegelapan rimba arogansi penguasa yang mengekang kebebasan pers. Praktis hanya sedikit insan pers nasional yang mensupportnya. Menunjukkan rasa simpati saja, apalagi empati terhadap perjuangannya, sangat terbatas. Apakah Surya Paloh dianggap bukan orang pers?

Ketika dia berteriak lantang memperjuangkan kemerdekaan pers dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung R.I atas keputusan pemerintah mencabut SIUPP Prioritas, dia tetap seorang diri. “Saya dianggap bukan orang pers,” katanya pada suatu ketika.

Karena itu, “Arogansi kekuasaan ini harus dilawan,” gumamnya lagi. “Demokrasi harus ditegakkan,” tegasnya. “Pers nasional harus bebas dari belenggu kematian,” tekadnya membara. Permenpen Nomor 01/Per/Menpen/1984 khususnya Pasal 33 butir “h” harus dicabut. Sebab Surya sangat yakin, seyakin yakinnya, bahwa mustahil dapat menumbuhkan demokrasi tanpa kebebasan pers.

Maklum, ketika itu pers sangat tidak bebas sebab hampir tidak terlihat satupun perlawanan yang bisa diberikan masyarakat pers terhadap pemerintah. Pers nasional adalah pers yang manggut-manggut kepada kepentingan penguasa. Surya menyebutkan, kebijakan institusi pers, dari SPS, Dewan Pers, hingga PWI semuanya berada dalam satu irama dengan penguasa tanpa pernah memperjuangkan fungsi pers yang sesungguhnya sebagai kekuasaaan negara keempat di bidang demokrasi, atau the fourth estate of democracy. “Saya ternyata berada dalam komunitas pers yang sebagian besar telah menjadi instrumen kekuasaan dan patuh pada penguasa,” gugatnya kemudian.

Ketika di kemudian hari Surya Paloh berhasil menyiasati gelapnya arogansi kekuasaan dengan mengambil-alih koran Media Indonesia secara sembunyi-sembunyi di “bawah tangan”, dia masih tetap dianggap sebagai orang pers pinggiran. Padahal di tangannya Media Indonesia sudah tampil sebagai koran pagi terbesar kedua.

Kendati hingga titik itu dia masih saja dianggap bukan “orang pers,” sejak tahun 1989 muncul gagasan segarnya membangun sebuah community newspaper. Sebuah komunitas koran di daerah-daerah coba dilahirkannya supaya melek terhadap demokrasi dan hidup dalam kebebasan pers untuk membawa negara ini tiba pada sebuah perubahan yang lebih baik.

Surya lalu membentuk perusahaan PT Surya Persindo, bertugas melakukan kerjasama kepemilikan saham dan pengelolaan media terhadap sepuluh suratkabar daerah dan sebuah mingguan, ditambah sebuah tabloid berita Detik di Jakarta.

Ke-10 media tersebut adalah Harian Atjeh Post dan Mingguan Peristiwa di Banda Aceh, Harian Mimbar Umum di Medan, Harian Sumatra Ekspres di Palembang, Harian Lampung Pos di Bandar Lampung, Harian Gala di Bandung, Harian Yoga Pos di Yogyakarta, Harian Nusa Tenggara dan Bali News di Denpasar, Harian Dinamika Berita di Banjarmasin, serta Harian Cahaya Siang di Menado.

Kebebasan pers yang Surya perjuangkan lewat semua instrumen yang dimiliki tetap dianggap hanya angin lalu. Semua suara itu baru memperoleh pembenaran di era reformasi. Pers akhirnya memperoleh kebebasannya yang hilang. Permenpen Nomor 1/Per/Menpen/1984 dicabut oleh Menpen Yunus Yosfiah di tahun 1998.

Lewat kebebasan baru itu, idealisme Surya Paloh menjadi memuncak untuk memberi penguatan baru kepada demokrasi melalui peran media yang dimiliki. Keinginannya untuk benar-benar memperoleh pengakuan sebagai publisher sejati tak lagi terbendung tatkala pada 18 November 2000, dia berhasil mengundang Presiden RI Abdurrahman Wahid untuk meresmikan pendirian Metro TV sebagai sebuah stasiun televisi berita pertama di Indonesia. Lambang kepala burung rajawali putih mulai muncul pada dua entitas media yang berpengaruh miliknya: koran Media Indonesia dan stasiun televisi Metro TV.

Seminggu kemudian tepatnya pada 25 November 2000 Metro TV mulai on air pertama kali, menyajikan siaran berita selama 18 jam setiap hari dengan dukungan teknologi yang fully digital. Ini adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Baik dari sisi pilihan teknologi maupun konten siaran yang sepenuhnya berita. Kemudian, persis tanggal 1 April 2001 Metro TV siaran non stop selama 24 jam setiap hari. Kehadiran Metro TV menjadi sebuah terobosan terbesar dalam dunia pertelevisian nasional.

Eksistensi Surya Paloh sebagai peublisher terkemuka, sebagai tokoh pers yang selalu menyuarakan suara masa depan tak lagi diragukan. Termasuk oleh mereka para insan pers yang sebelumnya lebih mau mengakui dia sebagai pengusaha ketimbang insan pers.

SUMBER : TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

MENGENAL LEBIH DEKAT “ SURYA DHARMA PALOH ”

( Bagian - 2 )

Pembawa Suara Masa Depan


Dia publisher terkemuka di negeri ini. Pria berkulit sawo yang selalu memelihara brewok hitam tebal membalut pipi dan dagu itu bernama lengkap Surya Dharma Paloh. Dia orator pembawa suara masa depan yang selalu bicara berapi-api di hadapan massa.
Calon Presiden melalui Konvensi Partai Golkar ini berkehendak kuat memimpin menjemput masa depan bangsa ini.

Putera bangsa kelahiran Kutaraja (Banda Aceh) tanggal 16 Juli 1951, yang juga politisi dan pengusaha sukses, ini berkehendak membawa perubahan baru di republik ini. Restorasi nasional ingin diwujudkannya jika berhasil memenangkan kontes Pemilu Presiden 2004, yang dia awali lewat jalur Konvensi Partai Golkar.

Menurutnya, salah satu kata kunci agar berhasil merestorasi masa depan bangsa secara menyeluruh ke arah yang lebih baik adalah harus memiliki otoritas penuh dan didukung rakyat. Otoritas tertinggi itu ada di tangan seorang presiden sebagai pemimpin nasional. Sebab, menurutnya, maju atau mundurnya sebuah bangsa lebih 50 persen disumbangkan oleh faktor kepemimpinan seorang pimpinan nasional (presiden).

Sejak masa belia, terbilang usia belasan tahun, impian kehidupan berpolitik yang demokratis dan obsesi berbisnis untuk menyejahterakan rakyat, sudah sering disuarakannya. Dia ingin melakukan perubahan menuju kehidupan adil-makmur dan sejahtera bangsanya. Era reformasi memberinya jalan lapang untuk memperjuangkan sekaligus membuktikan kehendak dan ide-ide briliannya itu. Gagasan dan ide yang seringkali diungkapkan dalam editorial Media Indonesia yang dipimpinnya namun selalu menghadapi tembok tak tertembus. Kini, dia ingin mewujudkannya. Dia ingin bangsa ini berubah: Adil-makmur dan sejahtera !.

“Kita butuh perubahan besar bagi bangsa ini,” katanya mantap kepada TokohIndonesiaDotCom, memberi alasan pencalonannya sebagai presiden. “Saya berkeyakinan pada diri saya, dengan karunia Tuhan, dan apa yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa, kesempatan lahir, besar dan berinteraksi di tengah-tengah bangsa ini, untuk menjadi salah satu figur alternatif pemimpin bangsa masa depan,” katanya dalam bagian awal pembicaraan.

Kemandirian dan kepemimpinan sesungguhnya terasah pada dirinya sejak remaja. Saat masih dalam usia belia sekali, 14 tahun, dia sudah memulai bisnis leveransir, di sebuah kota kecil Serbelawan tahun 1965. Bersamaan dengan aktivitas bisnis itu, dia pun sudah mampu tampil sebagai pemimpin dan penggerak massa, dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) sub rayon Serbelawan, Kecamatan Dolok Batunanggar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

KAPPI di daerah itu dia dirikan bersama teman-temannya untuk melawan pengaruh Partai Komunis Indonesia dan antek-anteknya, yang memberontak kepada negara melalui Gerakan 30 September/PKI. Peta pergolakan politik dan kekuasaan antara Jakarta dan Serbelawan, sama dalam pengamatan Surya Paloh yang rajin mengikuti pemberitaan lewat suratkabar dan radio, terutama gaung pidato Bung Karno yang sangat dia idolakan.
Bermodalkan semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan kekaguman akan proklamator Bung Karno yang sejak lama sudah ditanamkan ayahnya Daud Paloh, seorang perwira polisi, ditambah kemampuan orator ulung dan luasnya persahabatan serta kemampuan finansial sebagai leveransir ikan asin ke perkebunan, membuat anak muda itu makin leluasa menggerakkan organisasi KAPPI di Serbelawan, Simalungun. Jadi, ikhtiar sebagai politisi sekaligus pengusaha sukses sudah dijalankannya sejak awal.

Memasuki saat-saat menjelang pensiun untuk hanya menikmati hari tua bersama istri dan anak, obsesi yang pernah bergema pada usia 14 tahun itu kembali membatin dalam perasaannya.
Obsesi itu semakin hari semakin keras. Apakah dia harus berhenti untuk melakukan sesuatu yang lebih optimal? Atau apakah dia harus menyerah untuk menyatakan selamat tinggal kepada perjuangan, yang bukan terbatas kepada diri dan keluarganya?

Akhirnya, pada suatu hari dia mengambil kesimpulan: “Saya tidak boleh menyerah. Saya tidak boleh mengatakan bahwa saya telah melakukan semua apa yang seharusnya saya lakukan. Masih ada satu misi besar lagi di depan. Kalau memang kesempatan ada, atau kalau memang kesempatan itu juga kita buat supaya ada, kita harus bisa melakukan sesuatu yang lebih besar memimpin bangsa ini, atas kepercayaan rakyat bangsa ini,” ujarnya. Semangat berapi-apinya kembali mencuat, sama seperti ketika masih muda dulu memimpin ratusan massa pemuda pelajar menurunkan papan nama KBKB, sebuah ormas underbouw PKI di Serbelawan.

Semangat itu semakin mengkristal untuk bisa membawa perubahan besar bagi negeri ini. Sebab, kendati sudah belasan tahun sebagai publisher menyuarakan semangat perubahan dalam setiap editorial dan pemberitaan di setiap media yang didirikan dan dipimpinnya, perubahan yang diimpikannya tak kunjung datang. Kini, tokoh pers ini ingin menjemputnya, jika dia dipercaya memimpin bangsa ini.

SUMBER : TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

MENGENAL LEBIH DEKAT SOSOK "SURYA DHARMA PALOH"

(Bagian - 1)

BIODATA SINGKAT

Nama
Surya Dharma Paloh
Lahir
Kutaraja (Banda Aceh), 16 Juli 1951
Agama
Islam
Istri
Rosita Barack (Menikah tahun 1984 di Jakarta)
Alamat Rumah
Jalan Permata Berlian R. 20 Permata Hijau, Jakarta
Alamat Kantor
Harian Media Indonesia - Metro TV
Komplek Delta Kedoya
Jalan Pillar Mas Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk
Jakarta Barat 11520

INFORMASI SITUS WEB


AKTIVITAS
1968
Manajer Travel Biro Seulawah, Air Service, Medan
1972 – 1975
Pimpinan ‘Wisma Pariwisata’, Medan
1973
Presiden Direktur PT Ika Diesel Bros Medan
1975
Kuasa Direksi Hotel Ika Daroy, Banda Aceh
1975
Presiden Direktur PT Ika Mataram Coy, Jakarta
1976 – 1977
Direktur Link Up Coy, Singapore
1979 – Sekarang
Presiden Direktur PT Indocater, Jakarta
1985 – 1986
Pimpinan Umum Harian Pagi Prioritas, Jakarta
1988 – Sekarang
Direktur Utama PT Citra Media Nusa Purnama, Jakarta
1989 – 1991
Direktur Utama PT Vista Yama
1989 – Sekarang
Direktur Utama PT Surya Persindo
1989 – Sekarang
Komisaris PT Pusaka Marmer Indah Raya
1989 – 1994
Direktur Utama PT Mimbar Umum
1989 – 1994
Komisaris Utama PT Galamedia Bandung Perkasa
1989 – 1999
Direktur Utama PT Karya Banjar Sejahtera
1989 – Sekarang
Pemegang Saham PT Masa Kini Mandiri
1989 – 1991
Direktur Utama PT Citra Bumi Sumatera
1990 – Sekarang
Komisaris PT Bakti Citra Daya
1990 – Sekarang
Direksi PT Sekotong Indah Persada
1990 – Sekarang
Komisaris Utama PT Vista Yama
1991 – 1994
Komisaris Utama PT Citra Masa Kini
1991 – Sekarang
Pemilik PT Grahasari Surayajaya
1991 – Sekarang
Komisaris PT Citragraha Nugratama
1991 – 1994
Komisaris Utama PT Citra Bumi Sumatera
1991 – 1994
Direktur Utama PT Karya Mapulus
1992 – 1993
Direktur Utama PT Atjjeh Post
1992 – 1995
Komisaris Utama PT Detik Bangun Media Prestasi
1992 – Sekarang
Pemimpin Umum Harian Umum Media Indonesia
1994 – Sekarang
Direksi PT Citra Nusa Persada
1994 – Sekarang
Pemilik Sheraton Media Hotel & Towers
1994 – 1998
Komisaris Utama PT TVM Indonesia
1995 – Sekarang
Komisaris Utama PT Inti Marmer Indah Raya
1995 – Sekarang
Komisaris PT Satria Chandra Plastikindo
1995 – Sekarang
Pemilik Papandayan Hotel
1999 – Sekarang
Pemilik Bali Intercontinental Hotel
1999 – Sekarang
Direktur Utama PT Media Televisi Indonesia (Metro TV)

PENDIDIKAN
Tahun 1958 – 1963
Sekolah Dasar Negeri Serbelawan, Simalungun
Tahun 1964 – 1966
Sekolah Menengah Pertama Negeri Serbelawan, Simalungun
Tahun 1967 – 1969
Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Medan
Tahun 1970 – 1972
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan
Tahun 1972 – 1975
Menyelesaikan Pendidikan pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Medan

ORGANISASI
1964
Ketua Umum GPP (Gerakan Pemuda Pancasila) Dolok Batunanggar, Simalungun, Sumatera Utara
1966 – 1968
Ketua Presidium KAPPI Dolok Batunanggar, Simalungun
1968 – 1970
Ketua Presidium KAPPI, Medan, Sumatera Utara
1968
Pendiri Persatuan Putra Putri ABRI, Medan, Sumatera Utara (PP ABRI)
1968 – 1974
Ketua Umum Persatuan Putra Putri ABRI Medan, Sumatera Utara (PPABRI)
1969 – 1972
Ketua Ko PPMG (Koordinator Pemuda Pelajar Mahasiswa Golkar) Golkar, Medan, Sumatera Utara
1974 – 1977
Ketua Umum BPD Hipmi Sumatera Utara, Medan
1977 – 1979
Ketua BP Hipmi Pusat, Jakarta
1978
Pendiri FKPPI
1979 – 1981
Ketua Umum PP-FKPPI
1981 – 1983
Ketua Umum PP-FKPPI
1982 – 1984
Anggota Dewan Perimbangan DPP Pepabri
1984 – 1989
Ketua DPP AMPI
1984 – 1987
Ketua Dewan Pertimbangan PP-FKPPI
1984 – 1987
Ketua Dewan Kehormatan BPP Hipmi
1989 – Sekarang
Anggota Dewan Pembina DPP AMPI
1998 – Sekarang
Pengurus PB Gabsi
1999 – Sekarang
Anggota Dewan Pers
1999 – Sekarang
Ketua SPS Pusat

LEGISLATIF
1971
Calon Anggota DPRD Tk II Medan dari Golkar
1972 – 1982
Anggota MPR-RI
1982 – 1987
Anggota MPR RI
1987
Calon Anggota MPR/DPR-RI dari Golkar



  
CATATAN PENTING SEORANG
SURYA DHARMA PALOH
UNTUK MASYARAKAT INDONESIA

” RESTORASI INDONESIA ADALAH
PERUBAHAN POLA PIKIR MASYARAKAT INDONESIA DARI KEPURA-PURAAN MENJADI KETERUSTERANGAN !
SAYA TIDAK MAIN-MAIN DENGAN GERAKAN INI. SAYA PERCAYA
DAN YAKIN DENGAN GERAKAN INI, SEBAB TUHAN TELAH BERJANJI, DIA TIDAK
AKAN MENGUBAH NASIB SUATU KAUM JIKA KAUM ITU TIDAK MENGUBAH NASIBNYA
SENDIRI.
 DAN SAYA PERCAYA BAHWA JALAN RESTORASI INDONESIA
BISA MEMBAWA TITIK TERANG REPUBLIK INDONESIA MENCAPAI MIMPI-MIMPI
KITA SEMUA !
 DALAM SAMUDERA BIRU DAN ROTASI
EMAS KHATULISTIWA DARAH KITA MENDENYUTKAN MEREKA-MEREKA YANG
RESAH”
'' TUNAIKAN TUGAS MULIA "

Jakarta 1-Juni- 2010,

Simposium Nasional Restorasi Indonesia


Sumber :
http://www.facebook.com/?ref=home#!/pages/Surya-Paloh/110531812312149?v=info



Nasdem tak pernah memaksa seseorang untuk bergabung.
Nasdem hanya membutuhkan orang-orang yang memiliki komitmen kuat untuk bersama memperbaiki bangsa ini, merestorasi Indonesia ke arah yang lebih baik.
 dalam Bhineka Tunggal Ika, tak dikenal yang namanya tirani Mayoritas " sebaliknya kita punya paham kedudukan yang sama, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, tidak membeda-bedakan suku maupun agama apapun di negEri ini ”
ini yang harus perlu kita pecahkan bersama. dan maju mundurnya negEri ini ditentukan oleh kita sendiri sebagai anak Bangsa.
 Salam Perubahan - Restorasi Indonesia

 Sumber :

"Jadi Partai, Nasdem Harus Berdoa 1001 Malam" Golkar yakin Nasdem tidak akan berubah jadi partai.

Oleh : Ismoko Widjaya, Anggi Kusumadewi 



Priyo Budi Santoso, Politisi Golkar


VIVAnews - Sekali lagi, Golkar tidak mengkhawatirkan keberadaan organisasi massa besutan Surya Paloh yang juga tokoh Golkar, Nasional Demokrat (Nasdem). Partai ini pun yakin, Nasdem yang cenderung berorientasi politik tidak akan berubah menjadi partai politik.
"Kalau ingin menjadi partai baru, mohon maaf, harus berjuang dan berdoa 1001 malam karena tidak mudah menjadi partai," kata Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso  di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu 25 Agustus 2010.
Ia menambahkan, tokoh-tokoh teras Nasdem pun telah menyatakan bahwa Nasdem tidak akan berubah menjadi parpol.
"Sultan (Hamengkubuwono X) sebagai tokoh teras Nasdem juga mengatakan demikian. Kami pegang pernyataan beliau," ujar Ketua Hubungan Legislatif dan Lembaga Politik di Golkar ini.
Sultan, yang merupakan politisi senior Partai Golkar, kini juga ikut bergabung dengan Nasdem. Bahkan sebagai salah satu tokoh inisiator Nasdem.
Dengan perkataan Sultan sebagai salah satu jaminan itulah, maka seperti telah ditegaskan oleh Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, Golkar tidak akan melarang kader-kadernya untuk bergabung dengan Nasdem. "Kalau dengan ormas, silakan saja, tidak apa-apa. Golkar baik-baik saja," kata Priyo.
"Tapi kalau nanti Nasdem declare menjadi parpol, kita akan minta mereka (kader Golkar yang ada di sana) untuk memilih. Golkar tidak butuh loyalitas ganda," tandas Priyo.

Jika nantinya kader Golkar ada yang memilih untuk pindah ke Nasdem, maka Golkar tak mempermasalahkan karena itu adalah hak politik tiap individu.
Apapun, Priyo yakin apabila Nasdem berubah menjadi parpol, maka akan lebih banyak kader Golkar yang kembali ke Golkar ketimbang yang memilih untuk tetap berada di Nasdem. "Kalau (Nasdem) jadi parpol, saya yakin betul banyak yang bedol desa ke Golkar, karena Golkar lebih jelas," kata Priyo.
Pasalnya, ujar Priyo, Golkar selalu siap dengan berapapun parliamentary threshold (PT) yang nantinya ditetapkan dalam UU Pemilu yang baru. Sebagai partai lama yang telah mengakar sejak era orde lama, Golkar yakin dapat lolos ke parlemen dengan angka PT berapapun. "Tapi kalau partai baru, ya itu tadi, harus berdoa 1001 malam," tutup Priyo. 
(umi)

http://www.VIVAnews,com

RESTORASI DALAM PERSPEKTIF GENERASI BARU INDONESIA

Oleh Jeffrie Geovanie

Yang saya hormati,
Ketua Umum Nasional Demokrat, Bapak Surya Paloh,
Ketua Dewan Pertimbangan Nasional Demokrat Bapak Sultan Hamengkubuwono X, Ketua Dewan Pakar, Bapak Siswono Yudho Husodo,

seluruh pimpinan Nasional Demokrat yang hadir, seluruh ketua-ketua Nasional Demokrat dari Propinsi dan Kabupaten Kota serta seluruh hadirin...
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Pertama-tama selaku Ketua Wilayah Nasional Demokrat Jakarta Raya, saya ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ketua Umum Nasional Demokrat, Bapak Surya Paloh.

Kepemimpinan Bapak Surya Paloh hampir genap satu tahun dari sejak di deklarasikan pada 1 februari 2010 yang lalu, sungguh memberikan pembelajaran yang luar biasa bagi kami, terutama kami-kami dari generasi baru Indonesia, untuk memahami arti penting tentang konsistensi, tentang ketulusan, tentang kejujuran, dan yang tidak kalah penting adalah tentang etos kerja.

Pak Surya juga telah mempertontonkan pada kami, saat kunjungan-kunjungannya ke setiap daerah, bagaimana bersikap rendah hati, hangat pada setiap orang yang ditemui dan kami sangat yakini, itu bisa terjadi begitu alamiah, karena memang Pak Surya melakukannya dengan sepenuh hatinya, seluruh jiwanya.
Di saat kami-kami dari generasi baru Indonesia, mulai muak dan jengkel, melihat kepemimpinan di Indonesia yang belakangan ini di dominasi oleh ketidakjujuran, kebohongan, kemunafikan, kepura-puraan, bahkan juga ketidakpedulian pada tanggungjawabnya, sikap-sikap yang Pak Surya pertontonkan pada kami, sungguh bagaikan air segar yang membasahi dahaga kami untuk yakin dan percaya bahwa masih ada harapan pada masa depan Indonesia yang mensejahterakan seluruh rakyatnya.

Begitu juga dengan Pak Syamsul Muarif, Pak Sultan Hamengkubuwono, Pak Jan Darmadi, Pak Bachtiar Ali, Pak Soleh Solahudin, Pak Jafar Assegaf, ibu Jeannette Sudjunadi, Om Par, Pak Siswono, kakak Ferry Mursyidan Baldan, kakak Victor B Laiskodat, kakak Enggartiasto Lukita dan semua pengurus, sungguh sesuatu yang sangat indah dan berharga kebersamaan kita selama hampir genap satu tahun ini.

Saudara-saudaraku semua, pada kesempatan ini, izinkan saya juga untuk menyampaikan harapan kepada Pak Surya dan seluruh tokoh-tokoh senior di Nasional Demokrat agar tidak lelah dan tetap selalu bersemangat untuk membimbing kami menjadi pemimpin yang hebat, karena menjadikan Indonesia yang mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya, haruslah oleh pemimpin yang hebat, bukan seperti pemimpin-pemimpin yang berkuasa saat ini yang hanya seolah-olah pemimpin hebat, seolah-olah pemimpin yang bekerja keras, seolah-olah juga pemimpin yang peduli.

Saudara-saudaraku semua, pada kesempatan ini, saya juga melaporkan, walaupun baru di deklarasikan 12 desember 2010 yang lalu, Nasional Demokrat Jakarta Raya, telah menyelesaikan seluruh kepengurusan sampai tingkat kecamatan, yang Insya Allah pelantikkannya akan dilakukan seusai Rapimnas ini.
Untuk keanggotaan, selama 50 hari ini kami sudah memiliki 15.000 anggota, rasanya bukan hal yang sulit bagi kami untuk menggenapkannya menjadi 1 juta anggota sampai 1 februari 2012. Insya Allah.

Saudara-saudaraku semua, pada hari ini mewakili seluruh pengurus Nasional Demokrat Jakarta Raya, saya juga ingin menyampaikan, butir-butir pemikiran kami, seluruh pengurus Nasional Demokrat Jakarta Raya tentang perspektif generasi baru Indonesia terhadap, restorasi Indonesia yang kita cita-citakan bersama.

Gerakan reformasi di negeri ini sudah memasuki tahun yang ke-13. Dari Mei 1998 hingga saat ini kita telah melewati tiga kali Pemilu. Idealnya, setelah gerakan reformasi akan terjadi proses pelembagaan politik demokratis yang ditandai dengan:

(1)    Terciptanya kondisi bagi berkembangnya masyarakat sipil yang bebas dan aktif;
(2)    Adanya lembaga-lembaga politik yang relatif otonom;
(3)    Adanya aturan hukum yang dijalankan (law enforcement) untuk melindungi kebebasan individu dan kehidupan bermasyarakat;
(4)    Adanya sistem birokrasi yang fungsional dan tidak koruptif;
(5)    Adanya sistem ekonomi yang relatif stabil dan mensejahterakan rakyat.

Sayangnya, dari Pemilu pertama pasca gerakan reformasi (Juni 1999), hingga Pemilu ketiga (April 2009) yang diharapkan melahirkan kepemimpinan nasional baru untuk memperbaiki tatanan sosial politik yang kondusif bagi proses konsolidasi demokrasi ternyata masih jauh panggang dari api. Pemilu hanya sekadar menjadi legitimasi formal bagi tampilnya rezim baru tanpa dibarengi dengan penataan infra struktur politik yang memadai untuk menjalankan proses demokratisasi.

Kita bisa memahami karena persiapan yang terlalu pendek - dari mundurnya Presiden Soeharto hingga Pemilu - bukanlah waktu yang memadai bagi kekuatan prodemokrasi untuk menkonsolidasikan diri. Maka wajar jika kemenangan sebagian komponen prodemokrasi dalam Pemilu pun belum terhindar dari konflik politik, terutama dalam lembaga pemerintahan.

Relasi yang berjalan antara eksekutif dan legislatif misalnya, bukan dalam suasana check and balances yang dibenarkan secara demokratis, melainkan cenderung diwarnai semangat saling menjatuhkan satu sama lain yang pada akhirnya akan merusak tatanan demokrasi.

Kegagalan proses pelembagaan politik yang demokratis dari Pemilu ke Pemilu itulah yang kemudian melahirkan rangkaian ketidakpastian politik atau yang dalam literatur sering disebut dengan proses transisi yang tak berkesudahan. Ini merupakan bencana politik yang destruktif bukan saja bagi kelangsungan demokratisasi tapi juga bagi kelangsungan hidup suatu negara.

Oleh karenanya bisa dimaklumi jika ada sebagian kalangan yang menyebut Indonesia sebagai negara gagal (failed state). Jika merujuk pada kelima komponen yang menjadi prasyarat bagi pelembagaan politik yang demokratis (sebagaimana sudah disebutkan di awal) belum ada satu pun yang sudah benar-benar terpenuhi.
Pertama, dari segi terciptanya masyarakat sipil yang bebas dan aktif masih belum terpenuhi karena di negeri ini masih banyak komponen masyarakat sipil yang hidupnya terus terancam seperti yang terjadi pada para penganut ajaran Ahmadiyah, dan kelompok-kelompok minoritas lain yang belum bisa secara bebas mengekspresikan hak-hak dasarnya seperti kebebasan beragama dan menjalankan syariatnya, berserikat, dan mengemukakan pendapat.

Kedua, lembaga-lembaga seperti partai politik dan interest group yang ada di tengah-tengah masyarakat belum sepenuhnya independen. Ada upaya-upaya sistematis yang dilakukan pemerintah untuk mengkooptasi lembaga-lembaga politik yang tujuannya untuk memperkuat posisi politik jangka pendek. Akibatnya pada saat pemerintah melakukan kesalahan seperti korupsi atau skandal, lembaga-lembaga politik yang seyogianya melakukan kontrol justru menjadi pilar yang membela pemerintah.

Ketiga, law enforcement yang menjadi penyangga utama dari bangunan negara hukum (rechstaat) masih karut marut. Pedang keadilan hanya tajam bagi rakyat dan lawan politik, tapi tumpul bagi penguasa dan kroni-kroninya. Kasus pencurian buah kakao begitu mudah pelakunya diadili tapi skandal Bank Century yang merugikan negara hingga 6,7 triliun pelaku-pelaku utamanya begitu sulit dijerat secara hukum.
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara, bila pelakunya dari lawan politik begitu mudah dijebloskan dalam penjara, tapi berusaha ditutup-tutupi dengan dihilangkan barang buktinya jika pelakunya dari partai yang berkuasa. Terbongkarnya kasus mafia hukum dan mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan membuat law enforcement menjadi kian jauh dari fungsinya.

Keempat, birokrasi yang menjadi penopang utama jalannya pembangunan dan pelayanan publik masih sangat koruptif. Jangankan orang jahat, bahkan orang baik-baik pun bisa menjadi koruptor karena jeratan birokrasi di negeri ini. Sistem perizinan, pelayanan publik, serta sistem perekrutan pejabat dan pegawai baru untuk instansi-instansi pemerintah masih sarat dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan korupsi yang bertali-temali.

Kelima, sistem ekonomi yang dianut negara ini pun sangat tidak jelas apakah menganut sistem ekonomi liberal yang bertumpu pada kekuatan pasar atau sebaliknya. Yang ada adalah sistem ekonomi suka-suka atau semau-maunya, terserah pada pemerintah maunya apa. Sistem perekonomian nasional yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 hanya terkonsep dengan rapi namun minim aktualisasi.

Kondisi kebangsaan kita yang telah sampai pada tahap negara gagal (failed state) ini secara generasional telah melahirkan kegalauan luar biasa di kalangan generasi baru bangsa ini. Generasi muda yang seharusnya mewarisi nilai-nilai luhur dari para pendahulunya, yang ada di depan mata kini hanyalah rangkaian ketidakpastian, disorientasi demokrasi dengan sistem hukum, politik, dan ekonomi yang kacau-balau.

Melihat kondisi karut marut seperti ini, maka salah satu pilihan yang bisa kita lakukan adalah melakukan restorasi yang secara harfiah berasal dari kata to restore yang menurut Webster’s Third New International Dictionary berarti to bring back or to put back into the former or original state, atau to bring back from a state of changed condition. Artinya kurang lebih mengembalikan pada keadaan aslinya, atau mengembalikan dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

Republik ini telah dirancang oleh para founding fathers yang tergabung dalam Badan Peyelidik Usaha-usaha Pesiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan nilai-nilai dasar yang dirumuskan secara cermat dalam teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia maupun dalam Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pembukaannya. Nilai-nilai dasar itulah yang seharusnya menjadi rujukan dalam membangun negara serta dalam menyusun peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini.

Tapi dalam perjalanan sejarahnya, nilai-nilai dasar itu telah mengalami penyimpangan-penyimpangan, terutama disebabkan karena adanya deviasi antara prilaku para pejabat negara dengan nilai-nilai dasar yang terdapat dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Pada saat ini, deviasi prilaku itu kian menjadi-jadi sehingga mendorong para tokoh agama menyampaikan kritik tajam dengan memunculkan istilah ”kebohongan publik” yang dilakukan oleh pemerintah.

Untuk meniadakan, atau setidaknya untuk meminimalisasi penyimpangan-penyimpangan itulah diperlukan gerakan perubahan yang berupa ”Restorasi Indonesia” dalam perspektif generasi baru. Restorasi yang dimaksud bukan berarti secara harfiah kita kembali pada keadaan asli negeri ini atau kembali pada UUD 1945 yang asli. Tapi restorasi yang kita maksud adalah memedomani kembali nilai-nilai dasar yang telah dibangun oleh para founding fathers itu untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan tetap memperhatikan konteks kekinian sesuai dengan semangat zaman.

Untuk itu Nasional Demokrat Jakarta Raya, mengusulkan agar Rapimnas 1 ini merekomendasikan 5 langkah-langkah yg diperlukan.
Langkah-langkah yang diperlukan bisa mengacu pada lima kebutuhan dasar pelembagaan politik yang demokratis:

(1)      Memperkuat tatanan masyarakat sipil;
(2)      Penataan lembaga-lembaga politik yang demokratis;
(3)      Mengupayakan tegaknya law enforcement;
(4)      Penataan dan profesionalisasi birokrasi; dan
(5)      Implementasi sistem ekonomi yang adil dan mensejahterakan.

Dengan kelima langkah inilah, besar harapan kita bahwa kapal besar Indonesia yang hampir karam ini masih bisa diselamatkan.

Saudara-saudaraku semua, sebagai penutup, saya kutipkan beberapa bait puisi, Khalil Gibran yg terinspirasi dari kisah Nabi Musa AS, “Pernahkah kamu dalam hidupmu berada di tepi laut merah, di saat menoleh kebelakang, Firaun dan tentaranya siap membunuhmu dan umatmu, maju melangkah ke depan, lautan luas akan menenggelamkanmu dan umatmu, Ketika itu Musa berpikir sepersekian detik dan bertindak, Musa maju melangkah dengan tongkat mukjizat, terbelahlah lautan, selamatlah Musa dan umatnya”.

Saudara-saudaraku semua, hari ini kita pun setelah menjalani satu tahun ini, harus tetap maju melangkah, bila Musa memiliki tongkat mukjizat, kita pun memiliki mukjizat yaitu, kesungguhan hati kita, kecerdasan kita, keberanian kita untuk memperjuangkan negara Indonesia yang mensejahterakan seluruh rakyatnya.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

*)      Pidato Ketua Wilayah Nasional Demokrat Jakarta Raya, Jeffrie Geovanie, pada Rapimnas I Nasional Demokrat

*) sumber : http://www.nasionaldemokrat.org/articles/viewColumnWithTitle/perspektif/restorasi-dalam-perspektif-generasi-baru-indonesia

Nasdem dan Pemberdayaan Civil Society

Oleh Romanus Ndau Lendong

SAAT berlibur di Manggarai, Flores, beberapa waktu lalu, saudara saya menceritakan dirinya sudah bergabung dengan Nasional Demokrat (Nasdem). Alasannya, pertama, terinspirasi oleh figur Surya Paloh dan Sultan HB X. Kedua, sepakat dengan agenda restorasi Indonesia yang diusung Nasdem. Ketiga, Nasdem akan menjadi partai politik yang dahsyat di masa depan. Saudara saya berharap Nasdem bisa menjadi kendaraan politiknya di Pemilu 2014.

Saya mengafirmasi alasan ke-1 dan ke-2. Bagi saya, Surya Paloh dan Sultan adalah tokoh-tokoh inspiratif yang bisa menjadi rujukan kita dalam berpolitik. Sebagai tokoh pers, Surya Paloh jelas memiliki idealisme, komitmen, dan jaringan luas. Demikian pula Sultan Hamengku Buwono X, tokoh karismatis yang layak diperhitungkan. Namun, 'garis tangan' belum berpihak kepada mereka. Idealisme ternyata modal minimal bagi pemimpin politik di negeri ini. Segalanya masih ditentukan kekuatan politik riil terutama partai politik dan uang.

Kepada saudara saya, saya beri tahukan bahwa jika ingin menjadi politikus, bukan Nasdem tempatnya. Sejauh yang saya tangkap dari media massa, Nasdem adalah ormas. Nasdem hadir karena prihatin dan peduli pada nasib bangsa. Ia hadir untuk mengoreksi kekuasaan, bukan merebutnya. Bagi Nasdem, kekuasaan politik bukan satu-satunya energi perubahan.

Penjelasan tersebut tidak cukup meyakinkan buat saudara saya. Ia yakin Nasdem akan segera dideklarasikan jadi partai politik dalam waktu singkat. Jika tidak untuk kepentingan politik, ujarnya, untuk apa Nasdem menghabiskan banyak uang, merekrut banyak anggota, membuka cabang di berbagai daerah dan menggelar acara bertubi-tubi? Penjelasan dia meyakinkan. Hati saya juga bertanya-tanya untuk apa Nasdem melakukan semuanya itu.

Mujurnya, keraguan tersebut terjawab saat saya mendengar pidato Ketua Umum Nasdem Surya Paloh pada Rapimnas 1 Nasdem. Menanggapi aspirasi dan desakan 33 DPD agar Nasdem segera dideklarasikan jadi partai politik, Surya Paloh dengan lugas menampiknya. "Rapimnas bukan untuk mengubah Nasdem jadi parpol," tegasnya.

Pernyataan tersebut membuat kadar apresiasi saya terhadap Nasdem bertambah. Diukur dari sisi apa pun, tidak sulit bagi Nasdem untuk mengubah wajah menjadi parpol dan meraih dukungan luas. Tapi, Surya Paloh ternyata bergeming. Baginya, meluasnya dukungan merupakan cermin bahwa masih banyak insan negeri ini yang peduli pada nasib bangsa. Dukungan tersebut tidak boleh disalahgunakan untuk meraih ambisi politik pribadi. Pemimpin wajib mendengar, tapi tidak boleh didikte arus bawah.

Persis di situlah tantangan berat Nasdem. Desakan 33 DPD Nasdem merupakan representasi meluasnya pragmatisme politik di negeri ini. Dengan itu, penegasan Surya Paloh bahwa Nasdem tetap ormas sudah tentu membawa efek yang berbeda bagi anggotanya. Boleh jadi, antusiasme mereka berkurang dan secara perlahan minat mereka kepada Nasdem memudar.

Tidak sepenuhnya salah jika ada sebagian anggota Nasdem cenderung berpikir ke arah politik praktis. Toh, kini politik telah menjadi panglima. Seperti diingatkan Friedrich Nietzche, dalam diri setiap orang ada kehendak untuk berkuasa (the will to power). Alasannya jelas, setiap orang ingin menjadi manusia unggul sebagai basis legitimasi untuk menguasai dan meraih aneka kemewahan hidup.

Nasdem hendaknya membuka kesadaran publik bahwa keluhuran politik diukur dari kemampuannya untuk menempatkan kebaikan bersama sebagai asas tertinggi. Untuk itu, kekuasaan politik harus diawasi secara ketat agar tidak diselewengkan. Di sinilah Nasdem dan berbagai kekuatan civil society memainkan peran.

Pemberdayaan civil society

Berlarutnya konsolidasi demokrasi di negeri ini berakar pada meluasnya fragmentasi civil society. Berbeda dengan kondisi sebelum berakhirnya Orde Baru di saat civil society menjadi energi kuat untuk mendorong demokrasi, promosi hak asasi, dan good governance, kini keadaannya berubah total. Hilangnya Orde Baru sebagai musuh bersama membuat kekuatan civil society terpecah dan dilanda disorientasi yang amat merisaukan. Hijrahnya para aktivis HAM dan demokrasi ke ranah kekuasaan yang cenderung antidemokrasi menjadi contohnya. Begitu pula tampilnya sejumlah intelektual menjadi tameng kekuasaan SBY-Boediono merupakan eksploitasi demoralisasi gerakan civil society di negeri ini.

Kondisi ini berimplikasi pada menguatnya negara sebagai aktor yang mampu menjadi rujukan bagi segala persoalan yang terjadi (Chandoke, 2001;3). Di saat yang sama, potensi negara untuk tergelincir ke dalam praktik-praktik politik yang melawan kepatutan moral dan hukum sulit diantisipasi. Epidemi pembusukan kekuasaan seperti kemelut Bank Century, rekening gendut pejabat Polri, dan kasus Gayus Tambunan merupakan cermin lemahnya civil society. Rezim yang buruk berkembang pesat dalam civil society yang lemah, minim solidaritas, dan cenderung pasrah.

Itu berarti, desakan agar negara lebih adil dan sensitif dengan agenda-agenda kerakyatan hendaknya disertai usaha-usaha konkret civil society untuk memformulasi diri agar lebih kuat, konsisten, dan mandiri. Gouldner mengingatkan, "Tidak ada pembebasan yang mungkin di era modern ini tanpa kekuatan civil society yang menguatkan public sphere dan menyediakan tempat berlindung dari dominasi dan represi negara" (Behemonth, 1980;371). Baginya, civil society mempunyai potensi untuk meluncurkan program-program pemberdayaan sebagai mekanisme terbaik tumbuhnya berbagai inisiatif dalam mengontrol negara sekaligus menjadikannya sebagai objek evaluasi kritis.

Tekad Nasdem untuk tidak terjerembap dalam agenda-agenda politik praktis merupakan sinyal penting untuk memberdayakan civil society di negeri ini. Bagi Nasdem, cara efektif meminimalisasi kerusakan negara adalah dengan mendorong civil society sebagai kekuatan yang mampu mengorganisasi dan memajukan dirinya sendiri. Implikasinya, negara menjadi lebih awas dan rendah hati karena dirinya tidak lagi menjadi aktor tunggal bagi cita-cita demokrasi dan keadilan sosial.

Layar restorasi Indonesia ala Nasdem telah dikibarkan dan rakyat dengan sukacita menyambutnya. Nasdem hendaknya mampu mendesain agenda-agendanya secara jelas dengan mengedepankan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi luas, dan menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex).

Impian merestorasi Indonesia hanya mungkin terwujud jika Nasdem konsisten dan konsekuen menjalankan agenda-agenda pemberdayaan rakyat. Pertama, civil society adalah arena inklusif. Sekat-sekat agama, etnik, dan budaya tak lagi relevan. Dalam optik civil society, pluralisme adalah kekayaan dan kekuatan. Jadi, sudah saatnya Nasdem bersinergi dengan elemen civil society lain seperti LSM, media massa, organisasi petani, buruh, nelayan, dan lain-lain.

Kedua, civil society adalah wilayah yang hening. Mereka enggan berwacana karena kerja nyata adalah segalanya. Mereka tidak menggemari janji, tetapi hadir persis di saat rakyat membutuhkan pertolongan. Mereka juga tidak meributkan gaji sebab volunterisme adalah napasnya.

*) Tulisan pernah dimuat di Media Indonesia, 10/2/2011
*) Penulis adalah Staf pengajar Universitas Bina Nusantara
") http://www.nasionaldemokrat.org

Minggu, 20 Februari 2011

HIMNE DAN MARS NASIONAL DEMOKRAT

Himne Nasional Demokrat

 

Cipt.: Dwiki Dharmawan
Lirik: Inggrid Wijanarko

Negeri tumpah darahku
Nusa elok rupawan
Warna warni budaya
Cintaku slalu
tuk bela bangsaku

Nasional Demokrat
Dari hati damai
Yang cinta negeri
Perjuangan tiada henti
Demimu persada Indonesia...

Bagai kami disini
Bersatu dalam cita
Dari pelosok penjuru
Tuk bela bangsaku

Nasional Demokrat
Dari hati damai
Yang cinta negeri
Perjuangan tiada henti
Demimu persada Indonesia...

Nasional Demokrat
Dari hati damai
Yang cinta negeri
Perjuangan tiada henti
Demimu persada Indonesia...

  

 Mars Nasional Demokrat


Cipt.: Purwacaraka
Lirik: Inggrid Wijanarko

Nasional Demokrat
Kan selalu ada
Bangkitkan semangat
Tunas muda bangsa

Nasional Demokrat
Jujur bermartabat
Tak henti berjuang
Bela negara kita

Nasional Demokrat, Nasional Demokrat
Bersama menuju perubahan
Nasional Demokrat, Nasional Demokrat
Untuk kejayaan Indonesia

MAKNA LOGO

Makna Logo

Lambang Nasional Demokrat merupakan simbol dari sebuah perputaran dan rotasi dinamis yang utuh. Bulat dengan gestur memeluk, yang mengandung makna dalam kebersamaan, keutuhan dan kebulatan kata menyatakan keinginan untuk bergerak maju menuju perubahan untuk Restorasi Indonesia.

Konsep Warna

1.      Warna biru sebagai simbil harapan baru, keterbukaan, ketegasan, keyakinan dan kemapanan dari sebuah cita-cita serta semangat dan kebudayaan baru yang memiliki tujuan nyata dan menggambarkan intelektualitas.
2.      Warna jingga (oranye) sebagai simbol pembaruan, perubahan dan penyegaran yang alami, membangkitkan semangat semua orang, mencerahkan kehidupan menjadi lebih berarti, dan sekaligus melambangkan organisasi yang proaktif, energik, dan kreatif untuk kesempurnaan dalam pencapaian kejayaan.

RESTORASI INDONESIA

Restorasi Indonesia dicapai dengan:
Pertama, restorasi negara-bangsa yang berupa upaya membangun keteladanan kepemimpinan, membangun karakter gotong royong sesuai dengan dasar negara dan membangun kepercayaan rakyat terhadap institusi negara.
Kedua, restorasi kehidupan rakyat yang berupa upaya membangun gerakan arus bawah atas prakarsa rakyat, yang membawa nilai-nilai kebajikan, spiritualitas kebangsaan, solidaritas sosial, kearifan budaya lokal, dan etos kerja yang produktif.
Ketiga, restorasi kebijakan internasional yang berupa upaya membangun keseimbangan baru dalam tata dunia yang lebih adil, damai dan menjaga kelestarian alam semesta.