Senin, 21 Februari 2011

Nasdem dan Pemberdayaan Civil Society

Oleh Romanus Ndau Lendong

SAAT berlibur di Manggarai, Flores, beberapa waktu lalu, saudara saya menceritakan dirinya sudah bergabung dengan Nasional Demokrat (Nasdem). Alasannya, pertama, terinspirasi oleh figur Surya Paloh dan Sultan HB X. Kedua, sepakat dengan agenda restorasi Indonesia yang diusung Nasdem. Ketiga, Nasdem akan menjadi partai politik yang dahsyat di masa depan. Saudara saya berharap Nasdem bisa menjadi kendaraan politiknya di Pemilu 2014.

Saya mengafirmasi alasan ke-1 dan ke-2. Bagi saya, Surya Paloh dan Sultan adalah tokoh-tokoh inspiratif yang bisa menjadi rujukan kita dalam berpolitik. Sebagai tokoh pers, Surya Paloh jelas memiliki idealisme, komitmen, dan jaringan luas. Demikian pula Sultan Hamengku Buwono X, tokoh karismatis yang layak diperhitungkan. Namun, 'garis tangan' belum berpihak kepada mereka. Idealisme ternyata modal minimal bagi pemimpin politik di negeri ini. Segalanya masih ditentukan kekuatan politik riil terutama partai politik dan uang.

Kepada saudara saya, saya beri tahukan bahwa jika ingin menjadi politikus, bukan Nasdem tempatnya. Sejauh yang saya tangkap dari media massa, Nasdem adalah ormas. Nasdem hadir karena prihatin dan peduli pada nasib bangsa. Ia hadir untuk mengoreksi kekuasaan, bukan merebutnya. Bagi Nasdem, kekuasaan politik bukan satu-satunya energi perubahan.

Penjelasan tersebut tidak cukup meyakinkan buat saudara saya. Ia yakin Nasdem akan segera dideklarasikan jadi partai politik dalam waktu singkat. Jika tidak untuk kepentingan politik, ujarnya, untuk apa Nasdem menghabiskan banyak uang, merekrut banyak anggota, membuka cabang di berbagai daerah dan menggelar acara bertubi-tubi? Penjelasan dia meyakinkan. Hati saya juga bertanya-tanya untuk apa Nasdem melakukan semuanya itu.

Mujurnya, keraguan tersebut terjawab saat saya mendengar pidato Ketua Umum Nasdem Surya Paloh pada Rapimnas 1 Nasdem. Menanggapi aspirasi dan desakan 33 DPD agar Nasdem segera dideklarasikan jadi partai politik, Surya Paloh dengan lugas menampiknya. "Rapimnas bukan untuk mengubah Nasdem jadi parpol," tegasnya.

Pernyataan tersebut membuat kadar apresiasi saya terhadap Nasdem bertambah. Diukur dari sisi apa pun, tidak sulit bagi Nasdem untuk mengubah wajah menjadi parpol dan meraih dukungan luas. Tapi, Surya Paloh ternyata bergeming. Baginya, meluasnya dukungan merupakan cermin bahwa masih banyak insan negeri ini yang peduli pada nasib bangsa. Dukungan tersebut tidak boleh disalahgunakan untuk meraih ambisi politik pribadi. Pemimpin wajib mendengar, tapi tidak boleh didikte arus bawah.

Persis di situlah tantangan berat Nasdem. Desakan 33 DPD Nasdem merupakan representasi meluasnya pragmatisme politik di negeri ini. Dengan itu, penegasan Surya Paloh bahwa Nasdem tetap ormas sudah tentu membawa efek yang berbeda bagi anggotanya. Boleh jadi, antusiasme mereka berkurang dan secara perlahan minat mereka kepada Nasdem memudar.

Tidak sepenuhnya salah jika ada sebagian anggota Nasdem cenderung berpikir ke arah politik praktis. Toh, kini politik telah menjadi panglima. Seperti diingatkan Friedrich Nietzche, dalam diri setiap orang ada kehendak untuk berkuasa (the will to power). Alasannya jelas, setiap orang ingin menjadi manusia unggul sebagai basis legitimasi untuk menguasai dan meraih aneka kemewahan hidup.

Nasdem hendaknya membuka kesadaran publik bahwa keluhuran politik diukur dari kemampuannya untuk menempatkan kebaikan bersama sebagai asas tertinggi. Untuk itu, kekuasaan politik harus diawasi secara ketat agar tidak diselewengkan. Di sinilah Nasdem dan berbagai kekuatan civil society memainkan peran.

Pemberdayaan civil society

Berlarutnya konsolidasi demokrasi di negeri ini berakar pada meluasnya fragmentasi civil society. Berbeda dengan kondisi sebelum berakhirnya Orde Baru di saat civil society menjadi energi kuat untuk mendorong demokrasi, promosi hak asasi, dan good governance, kini keadaannya berubah total. Hilangnya Orde Baru sebagai musuh bersama membuat kekuatan civil society terpecah dan dilanda disorientasi yang amat merisaukan. Hijrahnya para aktivis HAM dan demokrasi ke ranah kekuasaan yang cenderung antidemokrasi menjadi contohnya. Begitu pula tampilnya sejumlah intelektual menjadi tameng kekuasaan SBY-Boediono merupakan eksploitasi demoralisasi gerakan civil society di negeri ini.

Kondisi ini berimplikasi pada menguatnya negara sebagai aktor yang mampu menjadi rujukan bagi segala persoalan yang terjadi (Chandoke, 2001;3). Di saat yang sama, potensi negara untuk tergelincir ke dalam praktik-praktik politik yang melawan kepatutan moral dan hukum sulit diantisipasi. Epidemi pembusukan kekuasaan seperti kemelut Bank Century, rekening gendut pejabat Polri, dan kasus Gayus Tambunan merupakan cermin lemahnya civil society. Rezim yang buruk berkembang pesat dalam civil society yang lemah, minim solidaritas, dan cenderung pasrah.

Itu berarti, desakan agar negara lebih adil dan sensitif dengan agenda-agenda kerakyatan hendaknya disertai usaha-usaha konkret civil society untuk memformulasi diri agar lebih kuat, konsisten, dan mandiri. Gouldner mengingatkan, "Tidak ada pembebasan yang mungkin di era modern ini tanpa kekuatan civil society yang menguatkan public sphere dan menyediakan tempat berlindung dari dominasi dan represi negara" (Behemonth, 1980;371). Baginya, civil society mempunyai potensi untuk meluncurkan program-program pemberdayaan sebagai mekanisme terbaik tumbuhnya berbagai inisiatif dalam mengontrol negara sekaligus menjadikannya sebagai objek evaluasi kritis.

Tekad Nasdem untuk tidak terjerembap dalam agenda-agenda politik praktis merupakan sinyal penting untuk memberdayakan civil society di negeri ini. Bagi Nasdem, cara efektif meminimalisasi kerusakan negara adalah dengan mendorong civil society sebagai kekuatan yang mampu mengorganisasi dan memajukan dirinya sendiri. Implikasinya, negara menjadi lebih awas dan rendah hati karena dirinya tidak lagi menjadi aktor tunggal bagi cita-cita demokrasi dan keadilan sosial.

Layar restorasi Indonesia ala Nasdem telah dikibarkan dan rakyat dengan sukacita menyambutnya. Nasdem hendaknya mampu mendesain agenda-agendanya secara jelas dengan mengedepankan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi luas, dan menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex).

Impian merestorasi Indonesia hanya mungkin terwujud jika Nasdem konsisten dan konsekuen menjalankan agenda-agenda pemberdayaan rakyat. Pertama, civil society adalah arena inklusif. Sekat-sekat agama, etnik, dan budaya tak lagi relevan. Dalam optik civil society, pluralisme adalah kekayaan dan kekuatan. Jadi, sudah saatnya Nasdem bersinergi dengan elemen civil society lain seperti LSM, media massa, organisasi petani, buruh, nelayan, dan lain-lain.

Kedua, civil society adalah wilayah yang hening. Mereka enggan berwacana karena kerja nyata adalah segalanya. Mereka tidak menggemari janji, tetapi hadir persis di saat rakyat membutuhkan pertolongan. Mereka juga tidak meributkan gaji sebab volunterisme adalah napasnya.

*) Tulisan pernah dimuat di Media Indonesia, 10/2/2011
*) Penulis adalah Staf pengajar Universitas Bina Nusantara
") http://www.nasionaldemokrat.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar